Tuesday, April 14, 2020

Konsep Ad-Diin menurut Al-Attas


Secara etimologi, din berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti menguasai, tunduk, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Din memang menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Allah dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Din lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan akan menjadi hutang bagi pemeluknya. Faham kewajiban dan kepatuhan membawa pula pada paham balasan, yaitu yang taat akan mendapat balasan yang baik dari Allah, sedangkan yang ingkar akan mendapat balasan yang buruk.

Din menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas
Menurut al-Attas, pengertian din adalah dayn (hutang), Madinah (kota), dayyān (penguasa, hakim), dan tamaddun (peradaban). Penjelasan makna-makna tersebut membuat gambaran akhir kesatuan makna sesuai dengan yang dimaksudkan, yaitu membawa maksud keyakinan, kepercayaan, perilaku, dan ajaran yang diikuti oleh seorang muslim secara individu maupun secara kolektif sebagai satu umat dan terjelma secara keseluruhan sebagai agama yang dimaksud dengan Islam.

1. Dayn
        Al-Attas menjelaskan berbagai aspek dari kata kerja dāna, yang berarti “berhutang” yaitu sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dari kata ini, kemudian jika di-tashrīf melahirkan kata din, agama, yaitu suatu undang-undang atau hukum yang harus ditunaikan oleh manusia, dan mengabaikannya akan berarti “hutang” yang akan tetap dituntut untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman atau balasan, jika tidak ditunaikan. Dari hal tersebut, menurut al-Attas, anugerah terbesar yang diterima oleh tiap orang adalah kewujudannya.  Manusia sesungguhnya berhutang kepada Tuhan atas keber-ada-annya dan semua karunia duniawi untuk mencukupi hidupnya. Al-Attas mendiskusikan berbagai definisi dari kata kerja dāna, yang berarti keadaan berhutang, dan bagaimana ia berkaitan erat dengan arti yang lain, seperti “keadaan berserah kepada sang piutang” (dā’in), yaitu rasa tanggungjawab atau ketaatan kepada piutang, hukuman (daynūnah), dan penghukuman (idânah). Oleh karena itu, untuk mengakui berhutang sepenuhnya kepada Tuhan atas kewujudannya, seseorang haruslah mengakui bahwa sebelum dia ada di dunia ini dia adalah tidak ada, hal ini digambarkan al-Qur’an yang artinya :
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Seorang manusia tidak dapat menjadikan dirinya sendiri tumbuh, dan berkembang dari segumpal darah menjadi dewasa dan sempurna. Bahkan setelah dewasa, manusia tidak dapat menciptakan indera penglihata, pendengaran atau panca indera lainnya untuk dirinya sendiri. Maka bagi mereka yang sadar, yang telah diberi petunjuk yang benar yakni akal ruhaninya, akan jelas terbukti bahwa bukanlah insan yang mengerakkan dirinya dari satu peringkat ke peringkat lain, akan tetapi justru ada yang lain menggerakkannya
Al-Attas mengatakan bahwa keberhutangan itu pada awalnya bermula dari peristiwa yang terjadi ketika manusia belum diberi jasad dan masih berada dalam bagian kesadaran Tuhan. Pandangan al-Attas mengenai hal ini berangkat dari ayat yang berisi perjanjian antara Tuhan dan manusia sebagaimana yang diungkapkan al Qur’an yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi".
Maksud dari ayat tersebut bahwa, insan telah membuat perjanjian dengan Tuhannya yang diakuinya sebagai Khalik yang membina dan memeliharanya. Perjanjian ini adalah pengakuan penerimaan tugas serta tanggung jawab insan kepada Tuhannya, dan inilah sifat bawaan insan yang suci sebelum terkena noda hewani.

2. Madinah
Al-Attas menunjukkan akar kata D-Y-N dalam arti baru yang belum pernah dikatakan oleh ilmuwan sebelumnya, yaitu hubungannya dengan konsepsi kata Madinah. Al-Attas berpendapat seluruh pemaknaan yang terdapat di dalam kata dāna hanya dapat dipraktekan di dalam sebuah masyarakat yang tertata dengan kehidupan perdagangannya dan hubungan masyarakatnya di dalam sebuah kota (Madinah). Kata bahasa Arab untuk kota adalah mudun atau madā’in yang merupakan turunan dari kata dāna. Karena tidak akan pernah ada sebuah masyarakat yang berperadaban tanpa seorang hakim, penguasa, gubernur. Kita menemukan bahwa keberadaaan fisik dan kehidupan yang berperadaban yang berkembang dalam sebuah kota merupakan cerminan secara linguistik berasal dari istilah dāna. Dengan demikian, al-Attas menggambarkan pentingnya hubungan antara konsep din dan Madinah, dan melihat secara mendalam hubungan signifikan dan erat antara konsep din dan konsep Madinah yang berasal dari kata din tersebut, dan peranan orang yang beriman secara perorangan dalam hubungannya dengan yang pertama (din) dan secara kolektif dalam hubungannya dengan yang kemudian (Madinah).

3. Dayyan
Menurut al-Attas penyerahan diri yang benar adalah yang dilakukan dengan sadar dan atas kemauannya sendiri. Penyerahan diri juga berarti ketaatan terhadap hukum-hukum-Nya. Allah menegaskan “Dan siapakah yang lebih baik dīn-nya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan dan mengikuti millah Ibrahim yang lurus.” (Q.S. An-Nisaa :125). Kata din dalam ayat tersebut tidak lain dan tidak bukan hanya merujuk kepada Islam. Tidak ada keraguan, bahwa ada berbagai bentuk din lainnya. Tetapi menurut al-Attas, yang melakukan penyerahan diri kepada Allah adalah yang benar, dan din semacam itulah yang merupakan satu-satunya din yang diterima Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya.

4. Tamaddun
Tamaddun berasal dari kata maddana yang berarti peradaban dan perbaikan dalam budaya sosial. Tamaddun akan menjadi kenyataan setelah ada ikhtiar untuk mempertingkatkan taraf adab dan memperhaluskan budi pekerti serta menimbulkan jati diri insan tiap-tiap anggota masyarakat tersebut.
Pada masa ini semakin jelas bagi kita bahwa konsep din, dengan pengertian yang paling mendasar, sesungguhnya mencerminkan suatu bukti nyata adanya suatu kecendrungan yang bersifat alami dari manusia untuk membentuk suatu masyarakat, yang taat hukum dan berusaha mewujudkan suatu pemerintahan yang adil. Konsep din mempunyai hubungan yang erat dengan konsep keadilan. Dalam Islam, agama merangkum kehidupan secara keseluruhan, semua kebajikan dan budi pekerti adalah bersifat keagamaan, ia berhubungan dengan kebebasan jiwa. Kebebasan artinya kemampuan untuk berbuat adil terhadap dirinya dan pada gilirannya ia merujuk pada pelaksanaan kekuasaan, kedaulatan, bimbingan dan pemeliharaannya atas jiwa dan raga hewani. Kemampuan untuk berbuat adil terhadap dirinya sendiri menyinggung secara tidak langsung kepada penegasan yang berterusan dan pemenuhan terhadap perjanjian yang ia lakukan dengan Allah Swt.
Waalahu A’lam Bisshowwab.

Sumber :
JA Filsafat.Din Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas.http://repository.uin- suska.ac.id/3971/4/BAB%20III.pdf
Muhammad Abduh Tuasikal.2012.Hanya Islam yang Diterima. https://rumaysho.com/2826 hanya-islam-yang-diterima.html
Samsul Amin.2017.Makna Ad-Din. https://nuun.id/makna-ad-din\

0 comments:

Post a Comment