Dalam Islam, Allah Swt merupakan realitas tertinggi dan
menjadi acuan setiap aktivitas seorang Muslim. Adapun seorang Muslim dinilai
kurang sempurna imannya jika dalam satu aspek dia menjadikan Allah Swt sebagai
acuan, tapi dalam aspek lain menepikan Allah Swt. Apapun aktivitas, profesi dan
kegiatan manusia seharusnya merupakan penghambaan (ibadah) kepada Allah Swt. Mengapa
demikian?
Jika ditinjau konsep atau prinsip yang paling
mendasar, sekaligus paling luas atau komprehensif untuk menata dan
mengembangkan kehidupan secara keseluruhan, tiada lain adalah konsep tauhid “tauhidullah”.
Banyak tafsir, antara lain tafsir Fi Zhilalil Quran, memastikan bahwa konsep
inti yang ada pada seluruh ungkapan Al Quran adalah tauhid. Seluruh dimensi dan
masalah kehidupan yang diangkat dalam Al Quran berangkat dan bermuara pada
konsep tauhidullah. Tauhidullah disini diartikan atau
berpandangan, bahwa alam dan kehidupan seluruh gerak dan diamnya merupakan satu
kesatuan sistem yang menyebabkan Allah sebagai satu-satunya. Semuanya gerak dan
diamnya memiliki makna dan tujuan yang jelas, memiliki fungsi yang proporsional
yang pasti menjamin harmonis alam dan sekitarnya. Semuanya hanya ada di satu
tangan kehendak yaitu satu-satunya yang esa, tempat bergantung semuanya, tidak
tergantung kepada apapun.
Al Quran secara berani mengkorelasikan do’a manusia,
dzikir dan istigfarnya dengan perilaku alam. Manusia beristigfar, alam
merespon. Kebenaran yang dipastikan oleh manusia hanya kebenaran yang berujung
pada fakta empirik, agak sulit diterima dan dibenarkan, tapi tatkala kita
memastikan keadilan Allah yang Maha satu satunya, menjadi satu keniscayaan. Tauhidullah
merupakan segala-galanya. Haji, qurban, hijrah, semuanya bersendikan dan berintikan
tauhidullah. Haji dengan segala perosesnya membina dan menanamkan secara
pasti tauhidullah, sesungguhnya kebanggaan, kemuliaan, nikmat, jabatan,
hanya milik Allah. Qurban merupakan implementasi nyata dari tauhidullah
dengan prinsip penyerahan total kepada bimbingan Allah.
Dalam pandangan Islam, realitas tertinggi adalah
Tuhan, dan menjadi asas paling dasar dalam aktivitas berpikir. Dalam menjalani
kehidupan beragama ini, seorang Muslim memiliki pandangan-pandangan terhadap
konsep kehidupan, manusia, akhlak, ilmu alam dan lain sebagainya. Jika
konsep-konsep yang berpusat dengan konsep Allah ini berfungsi menjadi alat
utama memandang sesuatu, maka seorang Muslim memandang realitas ini dalam
kesatuan konsep yang berpusat kepada tauhid. Maka, apapun keahlian ilmu seorang
Muslim; fisikawan, ahli kedokteran, insinyur, ahli ekonomi, teolog, ahli
falsafah, faqih, dan lain-lain, jika menggunakan tauhid sebagai
standarnya, maka ilmu yang terpancar dari akal fikirnya menjadi kekhasan
tersendiri sebagai seorang ilmuan Muslim yang hakiki.
Mengutip jurnal yang ditulis oleh Tri Arwani mengenai
Relasi Tuhan dan manusia menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, relasi Tuhan
dan manusia dalam pandangan Al-Attas sangat berhubungan dengan konsep Al-Attas
mengenai ketuhanan yang membedakan juga konsep Tuhan sebagai Rabb dan Tuhan
sebagai Ilah. Tuhan sebagai Ilah yang didapat dar konsep tauhid uluhiyah,
memiliki arti tidak menyekutukan-Nya dan tunduk serta taat kepada-Nya degan
cara, metode serta jalan yang telah dtunjukkan dan disetujui oleh-Nya.
Sedangkan Tuhan sebagai Rabb didapatkan dari konsep tauhid rububiyah, yang
meyakini Allah sebagai Sang Pencipta, Yang Memiliki dan Yang Mengatur. Ketika
relasi antara Tuhan dan manusia ditinjau dari konsep tauhid uluhiyah, maka
posisi manusia adalah seorang hamba Allah yang tujuan awal dari penciptaan dan
eksistensi manusia untuk mengabdi kepada Allah dengan penuh kesadaran dan
keinginan karena Allah semata dan sesuai dengan syari’at-Nya. Sedangkan dilihat
dari konsep tauhid rububiyah manusia memiliki amanah sosial sebagai khalifah
Allah di bumi Sebagai khalifah di bumi yang harus menjadikan Al-Quran dan
hadish sebagai pedoman utama.
Menurut Prof. Syed M Naquib al-Attas, orang baik itu
orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab terhadap dirinya kepada Tuhan,
sekaligus memahami dan menunaikan keadilan terhadap diri, orang lain dan alam.
Konsep kebaikan tidak lepas dari keilahian. Adil terhadap diri, manusia dan
alam itu berpondasi kepada Tuhan, bukan kepada rasio belaka. Artinya, orang
baik itu adalah ber-tauhid sekaligus toleran (Wan Mohd Nor Wan Daud,Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas,terj. hal. 174). Muslim
bertauhid harus muslim manusiawi begitu pula sebaliknya. Maka, humanis dalam
Islam didasari oleh ketuhanan dan sebaliknya muslim bertwhīd yang baik mestinya
menjadi pribadi yang dikatakan ‘humanis’. Berbeda dengan worldview Barat,
bahwa menjadi humanis tidak perlu menjadi religius, seorang ateispun dapat
menjadi humanis. Dalam konsep Islam, pribadi seperti ini bukan orang baik.
Bagi
Prof. al-Attas, kebebasan sesungguhnya adalah bertindak sesuai dengan yang
dituntut oleh hakikat sebenarnya dari dirinya. Yaitu kembali kembali kepada
kecenderungan alami, sebagai hamba yang khudu’ (patuh). Khudu’ ini
adalah konsekuensi tauhid. Menurut Imam al-Thahawi, tujuan tawhīd adalah
menjalankan keimanan dengan hukum-hukum syari’at (Abdul Ghaniy al-Ganimiy
al-Maidaniy al-Hanafi al-Dimasyqi,Syarh al-‘Aqidah al-Tahāwiyah, hal. 47). Maka
dari itu, dalam pandangan Islam, kebebasan manusia itu kebebasan diri ruhani,
yaitu pengembalian diri kepada hakikat yang sebenarnya yang pernah mengikat
janji kepada Allah SWT. Kebebasan adalah bentuk penghambaan yang murni kepada
Allah SWT secara sempurna. (Syed Muhammad Naquib al-Attas,Risalah Untuk Kaum
Muslimin, hal. 82, dan Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam,
hal.63-64)
Sumber
:
.