Secara etimologi, din berasal dari bahasa Arab
yang mempunyai arti menguasai, tunduk, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Din
memang menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Allah
dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Din lebih lanjut lagi membawa
kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan akan menjadi hutang bagi
pemeluknya. Faham kewajiban dan kepatuhan membawa pula pada paham balasan,
yaitu yang taat akan mendapat balasan yang baik dari Allah, sedangkan yang
ingkar akan mendapat balasan yang buruk.
Din
menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas
Menurut al-Attas, pengertian din adalah dayn
(hutang), Madinah (kota), dayyān (penguasa, hakim), dan tamaddun (peradaban).
Penjelasan makna-makna tersebut membuat gambaran akhir kesatuan makna sesuai
dengan yang dimaksudkan, yaitu membawa maksud keyakinan, kepercayaan, perilaku,
dan ajaran yang diikuti oleh seorang muslim secara individu maupun secara
kolektif sebagai satu umat dan terjelma secara keseluruhan sebagai agama yang
dimaksud dengan Islam.
1.
Dayn
Al-Attas
menjelaskan berbagai aspek dari kata kerja dāna, yang berarti “berhutang” yaitu
sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dari kata ini, kemudian jika
di-tashrīf melahirkan kata din, agama, yaitu suatu undang-undang atau hukum
yang harus ditunaikan oleh manusia, dan mengabaikannya akan berarti “hutang”
yang akan tetap dituntut untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman atau
balasan, jika tidak ditunaikan. Dari hal tersebut, menurut al-Attas, anugerah
terbesar yang diterima oleh tiap orang adalah kewujudannya. Manusia sesungguhnya berhutang kepada Tuhan
atas keber-ada-annya dan semua karunia duniawi untuk mencukupi hidupnya.
Al-Attas mendiskusikan berbagai definisi dari kata kerja dāna, yang berarti
keadaan berhutang, dan bagaimana ia berkaitan erat dengan arti yang lain,
seperti “keadaan berserah kepada sang piutang” (dā’in), yaitu rasa
tanggungjawab atau ketaatan kepada piutang, hukuman (daynūnah), dan penghukuman
(idânah). Oleh karena itu, untuk mengakui berhutang sepenuhnya kepada Tuhan
atas kewujudannya, seseorang haruslah mengakui bahwa sebelum dia ada di dunia
ini dia adalah tidak ada, hal ini digambarkan al-Qur’an yang artinya :
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu
Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Seorang manusia tidak dapat menjadikan dirinya sendiri
tumbuh, dan berkembang dari segumpal darah menjadi dewasa dan sempurna. Bahkan
setelah dewasa, manusia tidak dapat menciptakan indera penglihata, pendengaran
atau panca indera lainnya untuk dirinya sendiri. Maka bagi mereka yang sadar,
yang telah diberi petunjuk yang benar yakni akal ruhaninya, akan jelas terbukti
bahwa bukanlah insan yang mengerakkan dirinya dari satu peringkat ke peringkat
lain, akan tetapi justru ada yang lain menggerakkannya
Al-Attas mengatakan bahwa keberhutangan itu pada
awalnya bermula dari peristiwa yang terjadi ketika manusia belum diberi jasad
dan masih berada dalam bagian kesadaran Tuhan. Pandangan al-Attas mengenai hal
ini berangkat dari ayat yang berisi perjanjian antara Tuhan dan manusia
sebagaimana yang diungkapkan al Qur’an yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab:
"Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi".
Maksud dari ayat tersebut bahwa, insan telah membuat
perjanjian dengan Tuhannya yang diakuinya sebagai Khalik yang membina dan
memeliharanya. Perjanjian ini adalah pengakuan penerimaan tugas serta tanggung
jawab insan kepada Tuhannya, dan inilah sifat bawaan insan yang suci sebelum
terkena noda hewani.
2.
Madinah
Al-Attas menunjukkan akar kata D-Y-N dalam arti baru
yang belum pernah dikatakan oleh ilmuwan sebelumnya, yaitu hubungannya dengan
konsepsi kata Madinah. Al-Attas berpendapat seluruh pemaknaan yang terdapat di
dalam kata dāna hanya dapat dipraktekan di dalam sebuah masyarakat yang tertata
dengan kehidupan perdagangannya dan hubungan masyarakatnya di dalam sebuah kota
(Madinah). Kata bahasa Arab untuk kota adalah mudun atau madā’in yang merupakan
turunan dari kata dāna. Karena tidak akan pernah ada sebuah masyarakat yang
berperadaban tanpa seorang hakim, penguasa, gubernur. Kita menemukan bahwa
keberadaaan fisik dan kehidupan yang berperadaban yang berkembang dalam sebuah
kota merupakan cerminan secara linguistik berasal dari istilah dāna. Dengan
demikian, al-Attas menggambarkan pentingnya hubungan antara konsep din
dan Madinah, dan melihat secara mendalam hubungan signifikan dan erat antara
konsep din dan konsep Madinah yang berasal dari kata din
tersebut, dan peranan orang yang beriman secara perorangan dalam hubungannya
dengan yang pertama (din) dan secara kolektif dalam hubungannya dengan
yang kemudian (Madinah).
3.
Dayyan
Menurut al-Attas penyerahan diri yang benar adalah
yang dilakukan dengan sadar dan atas kemauannya sendiri. Penyerahan diri juga
berarti ketaatan terhadap hukum-hukum-Nya. Allah menegaskan “Dan siapakah
yang lebih baik dīn-nya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan dan mengikuti millah Ibrahim yang
lurus.” (Q.S. An-Nisaa :125). Kata din dalam ayat tersebut tidak
lain dan tidak bukan hanya merujuk kepada Islam. Tidak ada keraguan, bahwa ada
berbagai bentuk din lainnya. Tetapi menurut al-Attas, yang melakukan
penyerahan diri kepada Allah adalah yang benar, dan din semacam itulah yang
merupakan satu-satunya din yang diterima Allah, sebagaimana ditegaskan dalam
firman-Nya.
4.
Tamaddun
Tamaddun berasal dari kata maddana
yang berarti peradaban dan perbaikan dalam budaya sosial. Tamaddun akan
menjadi kenyataan setelah ada ikhtiar untuk mempertingkatkan taraf adab dan
memperhaluskan budi pekerti serta menimbulkan jati diri insan tiap-tiap anggota
masyarakat tersebut.
Pada masa ini semakin jelas bagi kita bahwa konsep din,
dengan pengertian yang paling mendasar, sesungguhnya mencerminkan suatu bukti
nyata adanya suatu kecendrungan yang bersifat alami dari manusia untuk
membentuk suatu masyarakat, yang taat hukum dan berusaha mewujudkan suatu
pemerintahan yang adil. Konsep din mempunyai hubungan yang erat dengan
konsep keadilan. Dalam Islam, agama merangkum kehidupan secara keseluruhan,
semua kebajikan dan budi pekerti adalah bersifat keagamaan, ia berhubungan
dengan kebebasan jiwa. Kebebasan artinya kemampuan untuk berbuat adil terhadap
dirinya dan pada gilirannya ia merujuk pada pelaksanaan kekuasaan, kedaulatan,
bimbingan dan pemeliharaannya atas jiwa dan raga hewani. Kemampuan untuk
berbuat adil terhadap dirinya sendiri menyinggung secara tidak langsung kepada
penegasan yang berterusan dan pemenuhan terhadap perjanjian yang ia lakukan dengan
Allah Swt.
Waalahu
A’lam Bisshowwab.
Sumber
:
JA Filsafat.Din
Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas.http://repository.uin- suska.ac.id/3971/4/BAB%20III.pdf