Wednesday, April 15, 2020

Syukuri Potensi Ibadahmu

Ada orang yang banyak sedekah tapi shalat malamnya malas.
Ada orang yang kencang tahajjudnya, tapi sedekahnya susah bukan main.
Ada orang yang rajin bukan main untuk taklim, tapi tilawahnya jarang sekali.
Ada yang tilawahnya semangat sekali, tapi susah sekali untuk shaum sunnah.

Dan lain-lain...

Syukuri saja potensi-potensi ibadah itu dan terus kerjakan, sebab:

1. Jarang ada orang yg hebat di semua cabang ibadah. Seringnya hebat pada suatu ibadah, tapi lemah pada ibadah lainnya. Maka, teruslah pertahankan kebaikan yang sudah ada.

2. Karena potensi kita memang terbatas, kecenderungan kita juga berbeda-beda, tidak  bisa diseragamkan.

Makanya pintu surga itu macam-macam, ada pintu shalat bagi yang ahli shalat, ada pintu sedekah bagi yang ahli sedekah, ada pintu ar-Rayyan bagi yang ahli shaum. Allah Maha Tahu...

Ibnu Mas'ud pernah ditanya, "Kenapa jarang shaum sunnah?"
Kata beliau, "saya kalau shaum jadi loyo tilawahnya, padahal tilawah adalah ibadah yang paling aku cintai. Jadi, beliau fokus pada tilawahnya karena memang disitu potensi beliau.

Imam Malik ketika diajak 'uzlah (menyepi dan fokus ibadah mahdhah) dan meninggalkan kesibukan mengajar oleh Abdullah al-'Umari, beliau jawab, "Allah membagi-bagikan amalan shalih kepada setiap orang seperti membagi-bagikan rezeki. Betapa banyak orang yang dimudahkan shalat tapi susah shaum, betapa banyak yang dimudahkan bersedekah tapi shaumnya jarang, bagiku menyebarkan ilmu adalah sebaik-baik amalan shalih, aku ridha atas kemudahan yang Allah berikan ini. Dan aku tidak merasa bahwa apa yang aku lakukan ini dibawah ibadah yg kamu lakukan. Aku berharap setiap kita dalam kebaikan dan ketaatan."

Makanya pintu surga itu macam-macam, ada pintu shalat bagi yang ahli shalat, ada pintu sedekah bagi yang ahli sedekah, ada pintu ar-Rayyan bagi yang ahli shaum. Allah Maha Tahu...

Yang patut disesali itu jika kita tidak tahu potensi ibadah kita atau sudah tahu tapi malas mengerjakannya. Lalu, melalui pintu surga mana kita akan masuk?

Penulis : Satria hadi lubis

Tuesday, April 14, 2020

Tauhidullah menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas



Dalam Islam, Allah Swt merupakan realitas tertinggi dan menjadi acuan setiap aktivitas seorang Muslim. Adapun seorang Muslim dinilai kurang sempurna imannya jika dalam satu aspek dia menjadikan Allah Swt sebagai acuan, tapi dalam aspek lain menepikan Allah Swt. Apapun aktivitas, profesi dan kegiatan manusia seharusnya merupakan penghambaan (ibadah) kepada Allah Swt. Mengapa demikian?

Jika ditinjau konsep atau prinsip yang paling mendasar, sekaligus paling luas atau komprehensif untuk menata dan mengembangkan kehidupan secara keseluruhan, tiada lain adalah konsep tauhid “tauhidullah”. Banyak tafsir, antara lain tafsir Fi Zhilalil Quran, memastikan bahwa konsep inti yang ada pada seluruh ungkapan Al Quran adalah tauhid. Seluruh dimensi dan masalah kehidupan yang diangkat dalam Al Quran berangkat dan bermuara pada konsep tauhidullah. Tauhidullah disini diartikan atau berpandangan, bahwa alam dan kehidupan seluruh gerak dan diamnya merupakan satu kesatuan sistem yang menyebabkan Allah sebagai satu-satunya. Semuanya gerak dan diamnya memiliki makna dan tujuan yang jelas, memiliki fungsi yang proporsional yang pasti menjamin harmonis alam dan sekitarnya. Semuanya hanya ada di satu tangan kehendak yaitu satu-satunya yang esa, tempat bergantung semuanya, tidak tergantung kepada apapun.

Al Quran secara berani mengkorelasikan do’a manusia, dzikir dan istigfarnya dengan perilaku alam. Manusia beristigfar, alam merespon. Kebenaran yang dipastikan oleh manusia hanya kebenaran yang berujung pada fakta empirik, agak sulit diterima dan dibenarkan, tapi tatkala kita memastikan keadilan Allah yang Maha satu satunya, menjadi satu keniscayaan. Tauhidullah merupakan segala-galanya. Haji, qurban, hijrah, semuanya bersendikan dan berintikan tauhidullah. Haji dengan segala perosesnya membina dan menanamkan secara pasti tauhidullah, sesungguhnya kebanggaan, kemuliaan, nikmat, jabatan, hanya milik Allah. Qurban merupakan implementasi nyata dari tauhidullah dengan prinsip penyerahan total kepada bimbingan Allah.

Dalam pandangan Islam, realitas tertinggi adalah Tuhan, dan menjadi asas paling dasar dalam aktivitas berpikir. Dalam menjalani kehidupan beragama ini, seorang Muslim memiliki pandangan-pandangan terhadap konsep kehidupan, manusia, akhlak, ilmu alam dan lain sebagainya. Jika konsep-konsep yang berpusat dengan konsep Allah ini berfungsi menjadi alat utama memandang sesuatu, maka seorang Muslim memandang realitas ini dalam kesatuan konsep yang berpusat kepada tauhid. Maka, apapun keahlian ilmu seorang Muslim; fisikawan, ahli kedokteran, insinyur, ahli ekonomi, teolog, ahli falsafah, faqih, dan lain-lain, jika menggunakan tauhid sebagai  standarnya, maka ilmu yang terpancar dari akal fikirnya menjadi kekhasan tersendiri sebagai seorang ilmuan Muslim yang hakiki.

Mengutip jurnal yang ditulis oleh Tri Arwani mengenai Relasi Tuhan dan manusia menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, relasi Tuhan dan manusia dalam pandangan Al-Attas sangat berhubungan dengan konsep Al-Attas mengenai ketuhanan yang membedakan juga konsep Tuhan sebagai Rabb dan Tuhan sebagai Ilah. Tuhan sebagai Ilah yang didapat dar konsep tauhid uluhiyah, memiliki arti tidak menyekutukan-Nya dan tunduk serta taat kepada-Nya degan cara, metode serta jalan yang telah dtunjukkan dan disetujui oleh-Nya. Sedangkan Tuhan sebagai Rabb didapatkan dari konsep tauhid rububiyah, yang meyakini Allah sebagai Sang Pencipta, Yang Memiliki dan Yang Mengatur. Ketika relasi antara Tuhan dan manusia ditinjau dari konsep tauhid uluhiyah, maka posisi manusia adalah seorang hamba Allah yang tujuan awal dari penciptaan dan eksistensi manusia untuk mengabdi kepada Allah dengan penuh kesadaran dan keinginan karena Allah semata dan sesuai dengan syari’at-Nya. Sedangkan dilihat dari konsep tauhid rububiyah manusia memiliki amanah sosial sebagai khalifah Allah di bumi Sebagai khalifah di bumi yang harus menjadikan Al-Quran dan hadish sebagai pedoman utama.

Menurut Prof. Syed M Naquib al-Attas, orang baik itu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab terhadap dirinya kepada Tuhan, sekaligus memahami dan menunaikan keadilan terhadap diri, orang lain dan alam. Konsep kebaikan tidak lepas dari keilahian. Adil terhadap diri, manusia dan alam itu berpondasi kepada Tuhan, bukan kepada rasio belaka. Artinya, orang baik itu adalah ber-tauhid sekaligus toleran (Wan Mohd Nor Wan Daud,Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas,terj. hal. 174). Muslim bertauhid harus muslim manusiawi begitu pula sebaliknya. Maka, humanis dalam Islam didasari oleh ketuhanan dan sebaliknya muslim bertwhīd yang baik mestinya menjadi pribadi yang dikatakan ‘humanis’. Berbeda dengan worldview Barat, bahwa menjadi humanis tidak perlu menjadi religius, seorang ateispun dapat menjadi humanis. Dalam konsep Islam, pribadi seperti ini bukan orang baik.

          Bagi Prof. al-Attas, kebebasan sesungguhnya adalah bertindak sesuai dengan yang dituntut oleh hakikat sebenarnya dari dirinya. Yaitu kembali kembali kepada kecenderungan alami, sebagai hamba yang khudu’ (patuh).  Khudu’ ini adalah konsekuensi tauhid. Menurut Imam al-Thahawi, tujuan tawhīd adalah menjalankan keimanan dengan hukum-hukum syari’at (Abdul Ghaniy al-Ganimiy al-Maidaniy al-Hanafi al-Dimasyqi,Syarh al-‘Aqidah al-Tahāwiyah, hal. 47). Maka dari itu, dalam pandangan Islam, kebebasan manusia itu kebebasan diri ruhani, yaitu pengembalian diri kepada hakikat yang sebenarnya yang pernah mengikat janji kepada Allah SWT. Kebebasan adalah bentuk penghambaan yang murni kepada Allah SWT secara sempurna. (Syed Muhammad Naquib al-Attas,Risalah Untuk Kaum Muslimin, hal. 82, dan Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hal.63-64)

Sumber :
Aam Abdusalam.2017.Konsep Tauhid “Tauhidullah”. http://islamiccenter.upi.edu/konsep-tauhid-tauhidullah/
Khoili Hasib.2019.Konsep Tauhid dan Kajian Pespektif Worldview Islam. http://inpasonline.com/konsep-tauhid-dan-kajian-perspektif-worldview-islam/
Tri Arwani.2018.Relasi Tuhan dan Manusia menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas. http://digilib.uinsby.ac.id/22472/

.



Konsep Ad-Diin menurut Al-Attas


Secara etimologi, din berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti menguasai, tunduk, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Din memang menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Allah dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Din lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan akan menjadi hutang bagi pemeluknya. Faham kewajiban dan kepatuhan membawa pula pada paham balasan, yaitu yang taat akan mendapat balasan yang baik dari Allah, sedangkan yang ingkar akan mendapat balasan yang buruk.

Din menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas
Menurut al-Attas, pengertian din adalah dayn (hutang), Madinah (kota), dayyān (penguasa, hakim), dan tamaddun (peradaban). Penjelasan makna-makna tersebut membuat gambaran akhir kesatuan makna sesuai dengan yang dimaksudkan, yaitu membawa maksud keyakinan, kepercayaan, perilaku, dan ajaran yang diikuti oleh seorang muslim secara individu maupun secara kolektif sebagai satu umat dan terjelma secara keseluruhan sebagai agama yang dimaksud dengan Islam.

1. Dayn
        Al-Attas menjelaskan berbagai aspek dari kata kerja dāna, yang berarti “berhutang” yaitu sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dari kata ini, kemudian jika di-tashrīf melahirkan kata din, agama, yaitu suatu undang-undang atau hukum yang harus ditunaikan oleh manusia, dan mengabaikannya akan berarti “hutang” yang akan tetap dituntut untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman atau balasan, jika tidak ditunaikan. Dari hal tersebut, menurut al-Attas, anugerah terbesar yang diterima oleh tiap orang adalah kewujudannya.  Manusia sesungguhnya berhutang kepada Tuhan atas keber-ada-annya dan semua karunia duniawi untuk mencukupi hidupnya. Al-Attas mendiskusikan berbagai definisi dari kata kerja dāna, yang berarti keadaan berhutang, dan bagaimana ia berkaitan erat dengan arti yang lain, seperti “keadaan berserah kepada sang piutang” (dā’in), yaitu rasa tanggungjawab atau ketaatan kepada piutang, hukuman (daynūnah), dan penghukuman (idânah). Oleh karena itu, untuk mengakui berhutang sepenuhnya kepada Tuhan atas kewujudannya, seseorang haruslah mengakui bahwa sebelum dia ada di dunia ini dia adalah tidak ada, hal ini digambarkan al-Qur’an yang artinya :
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Seorang manusia tidak dapat menjadikan dirinya sendiri tumbuh, dan berkembang dari segumpal darah menjadi dewasa dan sempurna. Bahkan setelah dewasa, manusia tidak dapat menciptakan indera penglihata, pendengaran atau panca indera lainnya untuk dirinya sendiri. Maka bagi mereka yang sadar, yang telah diberi petunjuk yang benar yakni akal ruhaninya, akan jelas terbukti bahwa bukanlah insan yang mengerakkan dirinya dari satu peringkat ke peringkat lain, akan tetapi justru ada yang lain menggerakkannya
Al-Attas mengatakan bahwa keberhutangan itu pada awalnya bermula dari peristiwa yang terjadi ketika manusia belum diberi jasad dan masih berada dalam bagian kesadaran Tuhan. Pandangan al-Attas mengenai hal ini berangkat dari ayat yang berisi perjanjian antara Tuhan dan manusia sebagaimana yang diungkapkan al Qur’an yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi".
Maksud dari ayat tersebut bahwa, insan telah membuat perjanjian dengan Tuhannya yang diakuinya sebagai Khalik yang membina dan memeliharanya. Perjanjian ini adalah pengakuan penerimaan tugas serta tanggung jawab insan kepada Tuhannya, dan inilah sifat bawaan insan yang suci sebelum terkena noda hewani.

2. Madinah
Al-Attas menunjukkan akar kata D-Y-N dalam arti baru yang belum pernah dikatakan oleh ilmuwan sebelumnya, yaitu hubungannya dengan konsepsi kata Madinah. Al-Attas berpendapat seluruh pemaknaan yang terdapat di dalam kata dāna hanya dapat dipraktekan di dalam sebuah masyarakat yang tertata dengan kehidupan perdagangannya dan hubungan masyarakatnya di dalam sebuah kota (Madinah). Kata bahasa Arab untuk kota adalah mudun atau madā’in yang merupakan turunan dari kata dāna. Karena tidak akan pernah ada sebuah masyarakat yang berperadaban tanpa seorang hakim, penguasa, gubernur. Kita menemukan bahwa keberadaaan fisik dan kehidupan yang berperadaban yang berkembang dalam sebuah kota merupakan cerminan secara linguistik berasal dari istilah dāna. Dengan demikian, al-Attas menggambarkan pentingnya hubungan antara konsep din dan Madinah, dan melihat secara mendalam hubungan signifikan dan erat antara konsep din dan konsep Madinah yang berasal dari kata din tersebut, dan peranan orang yang beriman secara perorangan dalam hubungannya dengan yang pertama (din) dan secara kolektif dalam hubungannya dengan yang kemudian (Madinah).

3. Dayyan
Menurut al-Attas penyerahan diri yang benar adalah yang dilakukan dengan sadar dan atas kemauannya sendiri. Penyerahan diri juga berarti ketaatan terhadap hukum-hukum-Nya. Allah menegaskan “Dan siapakah yang lebih baik dīn-nya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan dan mengikuti millah Ibrahim yang lurus.” (Q.S. An-Nisaa :125). Kata din dalam ayat tersebut tidak lain dan tidak bukan hanya merujuk kepada Islam. Tidak ada keraguan, bahwa ada berbagai bentuk din lainnya. Tetapi menurut al-Attas, yang melakukan penyerahan diri kepada Allah adalah yang benar, dan din semacam itulah yang merupakan satu-satunya din yang diterima Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya.

4. Tamaddun
Tamaddun berasal dari kata maddana yang berarti peradaban dan perbaikan dalam budaya sosial. Tamaddun akan menjadi kenyataan setelah ada ikhtiar untuk mempertingkatkan taraf adab dan memperhaluskan budi pekerti serta menimbulkan jati diri insan tiap-tiap anggota masyarakat tersebut.
Pada masa ini semakin jelas bagi kita bahwa konsep din, dengan pengertian yang paling mendasar, sesungguhnya mencerminkan suatu bukti nyata adanya suatu kecendrungan yang bersifat alami dari manusia untuk membentuk suatu masyarakat, yang taat hukum dan berusaha mewujudkan suatu pemerintahan yang adil. Konsep din mempunyai hubungan yang erat dengan konsep keadilan. Dalam Islam, agama merangkum kehidupan secara keseluruhan, semua kebajikan dan budi pekerti adalah bersifat keagamaan, ia berhubungan dengan kebebasan jiwa. Kebebasan artinya kemampuan untuk berbuat adil terhadap dirinya dan pada gilirannya ia merujuk pada pelaksanaan kekuasaan, kedaulatan, bimbingan dan pemeliharaannya atas jiwa dan raga hewani. Kemampuan untuk berbuat adil terhadap dirinya sendiri menyinggung secara tidak langsung kepada penegasan yang berterusan dan pemenuhan terhadap perjanjian yang ia lakukan dengan Allah Swt.
Waalahu A’lam Bisshowwab.

Sumber :
JA Filsafat.Din Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas.http://repository.uin- suska.ac.id/3971/4/BAB%20III.pdf
Muhammad Abduh Tuasikal.2012.Hanya Islam yang Diterima. https://rumaysho.com/2826 hanya-islam-yang-diterima.html
Samsul Amin.2017.Makna Ad-Din. https://nuun.id/makna-ad-din\